Cari Artikel

07 September 2010

Membuka Lembar Kenangan

Romadhan 1431 H perlahan beranjak meninggalkan kita, segala ibadah kita di bulan romadhan kita harapkan dapat di terima sehingga menjadi penolong nanti sewaktu di akherat, amin. Bersama perginya romadhan, orang-orang disibukkan dengan berbagai aktifitas menyambut lebaran, mulai dari berburu baju baru, masak makanan kesukaan, dan juga mudik yang paling seru dan di nanti, repot tapi harus.
Mudik dan kembali ke kampung halaman sungguh menjadi hal yang mengasikkan, bertemu keluarga, orang tua yang di sayang dan menyayangi, saudara yang suka bercanda, keponakan yang lucu dan teman-teman lama yang suka bikin rame.
Salah satu hal yang bikin kita jadi demen mudik adalah kampung halaman tempat kita di lahirkan dan dibesarkan. Disana tersimpan sejuta kenangan, sejuta kenangan manis, kenangan pahit, kenangan perjuangan, kenangan berbagai macam kenangan akan tempat kita tumbuh besar dan dewasa. Rumah kita mengingatkan sejuta kisah diri kita sewaktu kecil dan nakal, suka menolak perintah bapak dan ibu, suka bikin adik menangis, suka mencuri makanan, hm, sungguh kenangan masa kecil.

Beberapa hari lalu sampai di kampung, langsung meluncur kerumah kekasih hati dulu, dua hari di sana cukuplah, saatnya ke rumah orang tua. Setiba disana suasana hijau masih seperti yang dulu, rumah kayu tua yang lapuk itu masih indah dengan berbagai tanaman menghiasi halaman depan. Pohon salak yang rimbun memenuhi pinggir halaman, rerumputan tebal merata rapi menghiasi tanahnya, masih indah bahkan tampak lebih indah dari yang dulu.
Kamar kamar kosong, rumah ini nampak begitu sepi, semua kakak2 sudah tinggal sama istri dan anak mereka, tinggal bapak dan ibu dan adik saja, sangat sepi begitu sepi, sedih melihatnya. Ku masuki rumah tua itu, tanpa salam aku masuk saja, emang dari dulu aku begitu, bahkan sewaktu masiah kuliah dulu sering ku buat kaget seisi rumah dengan kedatanganku yang tanpa permisi itu, dan sekarang akupun masih begitu ingin ku buat kaget bapak dan ibuku dengan kedatanganku yang diam-diam ini. Ruang tamu begitu sepi, masih ada tivi usang kursi meja yang hampir sobek dan pudar warnanya masih yang dulu, aku hanya diam dan sedikit merasa bersalah. Aku bersalah karena aku meninggalkan rumah ini, meninggalkan bapak dan ibuku dalam suasana sunyi begini, setiap harikah mereka merasakan situasi ini? sedih, aku sedih.
Ruang tengah masih sepi, terlihat sepasang sendal di luar mushola, nampaknya seseorang sedang sholat ashar, dan terdegar juga gemericik air, nampaknya di kamar mandi yang kecil itu juga ada orang, asap dari tungku kayupun masih mengepul hangat, nampaknya ibu baru saja selesai masak.
Aku kembali keluar rumah dan memunguti dedaunan yang sedikit berjatuhan di halaman berumput itu, kemudian aku duduk diteras menunggu semuanya berlalu, bapak keluar dan betul terkaget melihat kedatanganku, tak lama ibupun begitu, rame bahagia begitulah suasana setiap kepulanganku ke rumah, indah sementara menghapus sepi rumah.
Aku begitu menikmati suasana sore penuh kenangan di rumah tua itu, udara yang segar, bau masakan yang menggoda puasaku, obrolan kami hingga suasana berbuka puasa, aku biasakan aku samakan dengan yang dulu dulu, aku ingin semua kenangan indah itu muncul kembali, sehingga kami bisa menikmatinya bersama sama dalam bahagia orang tua, indah sekali suasana maghrib di rumah tua. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Jejak Disini

Google Search Cari Info